PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
Oleh:
Tito Prayogi, SHI, SH, MH.
(Advokat D.I. Yogyakarta-Jawa Tengah)
Perkawinan sangat penting
dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan
yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan
manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumahtangga dibina
dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak
keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan
sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan
(Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta,
1999, hlm. 1).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 memandang perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Membina keluarga yang baik merupakan
dasar tegaknya agama, bangsa dan negara karena keluarga adalah awal mula
terbentuknya masyarakat. Keluarga merupakan unit terkecil sebuah masyarakat.
Sehingga manakala unit terkecil ini baik, maka niscaya baik pula masyarakat
yang terbentuk dari kumpulan unit-unit terkecil tersebut. Oleh karena itu, perkawinan
sebagai awal mula pembentukan keluarga harus dibangun di atas dasar yang sehat
dengan tujuan-tujuan yang lurus, karena rapuhnya prinsip dan kaburnya tujuan
akan mengakibatkan hampanya sebuah keluarga.
Membina keluarga yang baik bukan tanpa
cobaan dan berbagai permasalahan yang tidak jarang datang silih berganti.
Pihak-pihak di dalam rumah tangga dituntut semaksimal mungkin menjalankan
kewajiban masing-masing dengan dilandasi rasa saling menghormati, menghargai,
jujur dan adanya pengertian antara satu dengan lainnya. Namun bagi sebagian
orang perilaku yang demikian bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Demikian
karena banyak kasus putusnya perkawinan dengan perceraian terjadi disebabkan
ketidakmampuan melaksanakan keharusan-keharusan tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di hadapan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan suami istri. Perceraian hanya dapat terjadi apabila ada
cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mensyaratkan bahwa
perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Alasan-alasan yang dapat menjadi
penyebab terjadinya perceraian di atas juga ditentukan sama di dalam Kompilasi
Hukum Islam. Hanya saja selain alasan-alasan tersebut Kompilasi Hukum Islam
menentukan adanya alasan lain untuk terjadinya perceraian, yaitu:
1. Suami melanggar taklik-talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Ketika permasalahan muncul di dalam
rumah tangga para pihak dituntut semaksimal mungkin mampu mengatasinya, dengan
atau tanpa bantuan pihak lain agar tidak terjadi perceraian. Karena
bagaimanapun juga perceraian merupakan sesuatu yang dibenci oleh Tuhan Yang
Maha Esa dan sedikit banyak pasti akan mendatangkan kemudlaratan.
Walaupun pada keadaan tertentu perceraian justru menjadi solusi terbaik,
manakala pilihan mempertahankan rumah tangga malah akan menambah penderitan
bagi para pihak atau salah satunya.
Konflik lain yang biasanya muncul
akibat adanya perceraian adalah perebutan harta gono-gini, di mana masing-masing
pihak saling menghaki kekayaan dalam perkwainan dan munculnya konflik perebutan
hak asuh anak karena masing-masing merasa lebih berhak mengasuh anak sebab
perasaan lebih baik daripada pihak lainnya dalam hal mendidik anak.
Apabila senyatanya perceraian tidak
dapat dihindarkan karena merupakan solusi terbaik, hendaknya suami istri tidak
mengedepankan ego masing-masing untuk memperbutkan hak asuh anak. Demikian agar
perceraian tidak mengorbankan kebaikan dan kepentingan anak, atau
setidak-tidaknya akan meminimalisir dampak tidak baik perceraian terhadap anak.
Dengan alasan itu maka biarlah hak asuh diberikan kepada yang lebih berhak,
namun semua kebutuhan anak tetap menjadi tanggung jawab bersama meskipun telah
hidup terpisah. Sehingga anak-anak akan tetap terus tumbuh dan berkembang
dengan baik menjadi generasi yang membanggakan, tidak hanya bagi kedua orang
tuanya yang telah berpisah tetapi juga bagi agama, bangsa dan negara.