PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA
Oleh: Tito Prayogi, SHI, SH, MH.
(Advokat D.I. Yogyakarta-Jawa Tengah)
Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
seperti tersebut dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Menurut Pasal 1
angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 penyalah guna narkotika adalah orang
yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahguna narkotika
dapat dibedakan menjadi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika.
Pecandu
narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan
pada narkotika merupakan kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan
efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara
tiba-tiba akan menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Sedangkan menurut
penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, korban penyalahgunaan
narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika.
Pasal 103 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa hakim yang memeriksa
perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutus
untuk memerintahkan pecandu narkotika menjalani pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika;
atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan pecandu
narkotika menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Penjelasan
Pasal 103 ayat (1) bahwa penggunaan kata memutuskan pada huruf a mengandung
pengertian bahwa putusan hakim merupakan vonis (hukuman), sedangkan penggunaan
kata menetapkan pada huruf b mengandung pengertian bahwa putusan hakim bukan
merupakan vonis (hukuman) bagi pencandu narkotika. Penetapan pada huruf b
dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa walaupun pecandu narkotika
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib
menjalani pengobatan dan perawatan.
Selanjutnya
Pasal 103 ayat (2) memuat ketentuan bahwa putusan untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Ancaman hukuman
bagi penyalahguna narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur pada
Pasal 127 dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 127
(1) Setiap penyalahguna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika
golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan
c. Narkotika
golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Dalam
memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam
hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan Korban Pecandu Narkotika ke
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, penerapan pemidanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana
sebagai berikut:
1. Terdakwa
pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi
tertangkap tangan.
2. Pada
saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
a. Kelompok Methamphetamine (shabu) : 1 gram
b. Kelompok MDMA (ektasi) : 2,4 gram
= 8 butir
c. Kelompok Heroin : 1,8 gram
d. Kelompok Kokain : 1,8 gram
e. Kelompok Ganja : 5 gram
f. Daun Koka :
5 gram
g. Meskalin :
5 gram
h.
Kelompok
Psilosybin :
3 gram
i.
Kelompok
LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
j.
Kelompok
PCP (Phencyclidine) :
3 gram
k.
Kelompok
Fentanil :
1 gram
l.
Kelompok
Metadon :
0,5 gram
m.
Kelompok
Morfin :
1,8 gram
n.
Kelompok
Petidin :
0,96 gram
o.
Kelompok
Kodein :
72 gram
p.
Kelompok
Bufrenorfin :
32 gram
3. Surat
Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik.
4. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/
psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan
terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan
beberapa pertimbangan yang antara lain adalah jumlah pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana
semakin meningkat serta upaya pengobatan dan/atau perawatan yang belum
dilakukan secara optimal dan terpadu, penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan
bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di
tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan, dan pemulihan
dan/atau pengembangan kemampuan fisik, mental, dan sosial tersangka, terdakwa,
atau narapidana dalam tindak pidana narkotika perlu dilakukan program
pengobatan, perawatan dan pemulihan secara terpadu dan terkoordinasi maka pada
tahun 2014 dibuat Peraturan Bersama Ketua mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala
kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala Badan Narkotika Nasional
Republik tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Peraturan Bersama tersebut di
atas bertujuan untuk mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal
penyelesaian permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan pecandu narkotika
dan korban penyalahgunaan narkotika, menjadi pedoman teknis dalam penanganan
pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka,
terdakwa, atau narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial, dan terlaksananya proses rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial di semua tingkat pemeriksaan hingga pemidanaan secara
sinergis dan terpadu.
Pelaksanaan rehabilitasi medis
dan/atau rehabilitasi sosial dilakukan berdasarkan hasil asesmen dari Tim
Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu adalah tim yang dibentuk guna melakukan
asesmen terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai
tersangka dan/atau narapidana sebagai penyalah guna narkotika. Tim ini terdiri
dari tim dokter (yang meliputi dokter dan psikolog) dan tim hukum (unsur POLRI,
BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham). Khusus untuk penangkapan tersangka anak, tim
hukum melibatkan Bapas.
Menurut Pasal 9 ayat (1) dan
ayat (2) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, Tim Asesmen Terpadu
memiliki tugas tugas wewenang sebagai berikut:
(1) Tim Asesmen Terpadu mempunyai tugas untuk
melakukan:
a. Analisis terhadap seseorang yang ditangkap
dan/atau tertangkap tangan dalam kaitan peredaran gelap narkotika.
b. Asesmen dan analisis medis, psikososial, serta
merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi seseorang sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 huruf a.
(2) Tim Asesmen Terpadu mempunyai kewenangan:
a. Atas permintaan penyidik untuk melakukan
analisis peran seseorang yang ditangkap/ tertangkap tangan apakah seseorang
tersebut sebagai korban penyalahgunaan narkotika/pecandu atau pengedar
narkotika;
b. Menentukan kriteria tingkat keparahan
pengunaan narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi dan
kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara; dan
c. Merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi
terhadap pengguna narkotika sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pada kasus-kasus penyalahgunaan narkotika hasil asesmen dan analisis Tim
Asesmen Terpadu merupakan sesuatu yang sangat penting. Hasil asesmen dan
analisis tersebut akan menjadi dasar pertimbangan dapat tidaknya penyalahguna
narkotika menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, baik di
tingkat proses penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan.
Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sangat penting bagi
penyalahguna narkotika karena rehabilitasi medis merupakan suatu proses
kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika, sedangkan rehabilitasi sosial merupakan suatu proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar mantan
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.